Abu Khulasah (Catatan Insan Sukut)

Melihat buku-buku KMI Gontor yang rata-rata berbahasa Arab, dan hanya sebagian saja yang berbahasa Inggris atau Indonesia, membuat pikiran santri ghairu muhibb fi al-qira'ah (bukan penggemar membaca) pusing 7 tingkat ke atas, 7 lapis ke bawah, dan 7 keliling.

Sedangkan dalam kurun waktu singkat, santri dituntut untuk dapat memperoleh informasi yang terkandung dalam buku-buku tersebut dengan secara cepat, khususnya tajribi (kelas taksifi/intensif), meskipun kurang paham.

Hal ini tentunya akan sangat merepotkan, karena ketidakfahaman akan buku-buku yang merupakan materi pelajaran tersebut, berakibat jatuhnya nilai raport sebagai syarat kenaikan kelas, selain syarat utama yang lain yang tak kalah pentingnya.

Ada jurus turun temurun yang diwariskan tanpa serah terima amanat atau jabatan, yaitu tradisi meng-khulasah (merangkum) materi pelajaran.

Seperti diketahui penulis, khulasah merupakan kegiatan yang sangat dilarang di bumi Darussalam Gontor. Sehingga setiap kali ujian akan ada sweeping, pemeriksaan atas tebaran photocopi khulasah untuk dimusnahkan oleh bagian KMI (bagian pengajaran di pondok).

Tradisi khulasah mengkhulasah pelajaran disinyalir belum diketahui pasti, siapa yang pertama pengkhulasahnya (pembuat rangkuman).

Pengkhulasah atau mulkhis menjadi aktor penting di balik kesuksesan beberapa santri yang tidak faham pelajaran, yang hanya mengandalkan hafalan sebagai pondasi utama sistem belajarnya dalam mencapai kenaikan kelas ke jenjang berikutnya.

Dalam hal ini, penulis pernah merasakan nikmatnya membaca khulasah ketika ujian awal tahun dan akhir tahun.

Pun demikian, penulis tidak mengandalkan hafalan dalam menguasai khulasah. Tapi jurus mengingat tata letak dan merekayasa skema yang terdapat dalam khulasah, karena memang sangat malas untuk menghafal.

Semua pelajaran per-jenjang sudah ada di dalam khulasah. Dan penulis mendapatkannya dari teman penggemar berat khulasah.

Penulis kecanduan khulasah setelah strategi belajarnya porak poranda oleh ketidakfahaman pelajaran selama menuntut ilmu di pondok.

Sampai pada titik krusialnya, waktu penulis duduk di kelas akhir dengan membuat khulasah sendiri dari pelajaran kelas satu sampai kelas enam. Namun khulasah tersebut tidak disebarluaskan, dan hanya sebagai rangkuman intelektual pribadi.

Kalau disebarluaskan, barangkali akan menjadi amal jariyah penulis turun temurun, kepada generasi thalib al-ilm di Gontor. Namun pada kenyataannya hal ini salah di mata beberapa pihak yang mengharamkan khulasah.

Khulasah merupakan jalan pintas termudah, yang dapat dilakukan thalib al-ilm yang tak sepenuhnya faham pelajaran.

Uniknya, semakin dilarang maka semakin banyak khulasah-khulasah baru, yang merajalela dari tangan ke tangan santri. Bahkan ada yang mempunyai koleksi dan jenis khulasah dengan beda tahun pembuatan.

Ada hal yang perlu dicermati, bahwa penikmat khulasah harus memahami isi atau garis besar informasi yang terdapat dalam pelajaran dan khulasah. Artinya ada sinkronisasi antara keduanya.

Oleh sebab itu, mulkhis yang cerdas dapat mengejawantahkan khulasah dengan padatnya isi bacaan, dengan mengambil nuqthah jauhariyah (poin penting), sehingga akan dapat mempermudah pemahaman makna dari pelajaran.

Strategi penting bagi mulkhis adalah adanya pemahaman dalam mengekstrak suatu bacaan, atau sebuah bahasan pelajaran, sehingga dapat menyimpulkan dengan secara singkat suatu tulisan, atau pembahasan tersebut.

Dan begitu juga bagi penikmat khulasah, merupakan sosok yang harus memahami pola pikir, proporsionalitas pelajaran yang dikhulasah oleh mulkhis dan hasil khulasahnya, sehingga sistematika keilmuan tidak rancu dan terkesan lompat-lompat tanpa arah.
 
Sebenarnya ada hal penting penghancur strategi khulasah-khulasah tadi, yaitu pola pertanyaan dalam ulangan yang sedikit banyaknya sudah berubah di KMI Gontor, dari yang model hafalan menjadi high order thinking skill dengan taksonominya.

Perkembangan model soal tersebut menjadi kartu mati bagi penikmat khulasah yang kurang cerdik. Dan nilaipun tidak dapat tertolong dengan adanya buku khulasah berbagai mata pelajaran dengan berbagai macam jenis tahunnya.

Kalaupun ada khulasah keluaran terbaru bermodel high order thinking skill, maka perlu keahlian yang njlilmet dan membutuhkan waktu yang panjang.

Dan sepertinya abu khulasah, baik mulkhis maupun penikmat khulasah, siap-siap gigit jari menikmati kenihilan hasil, karena soal-soal di KMI Gontor untuk saat ini, banyak mengandalkan tathbiq (aplikasi), tahlil (analisa), taqwim (evaluasi), dan minim akan tadzakur (mengingat) ataupun fahm (memahami). Dengan arti lain, membutuhkan penalaran dan juga scientific thinking ethos yang mumpuni.

Akhirnya, nasihat yang bisa penulis sampaikan, bahwa khulasah yang baik dan yang bisa dipakai oleh thalib al-ilm abu khulasah adalah kemampuan otak dalam menalar poin-poin penting pelajaran, dengan memperbanyak aktivitas tanya jawab antara satu dengan lainnya, serta menyiapkan kemungkinan soal dan jawaban sebanyak mungkin beserta contoh-contohnya baik secara lisan ataupun tulisan karena:


السؤال نصف العلم و نصفه الآخر العمل به


Pertanyaan atau soal itu adalah setengah ilmu dan setengahnya lagi adalah pengamalannya.

Santri Gontor milenial masih memakai khulasah? Apa kata KMI.

 

 

Widi Dalang
Alumni Gontor tahun 1999 Akhir (Spinker 620)

Share this Post