Gontor dan Kitab Kuning (Catatan Insan Sukut)

Kalau melihat Gontor secara parsial, maka pembelajaran kitab kuning menjadi titik lemah bagi para santrinya.

Bagaimana tidak, Gontor tidak mengajarkan kitab-kitab kuning seperti halnya di pesantren-pesantren yang masih menganut sistem sorogan, bandongan, wetonan atau istilah sejenisnya.

Kalaupun para thalib al'ilm di Gontor ditanya mengenai kitab apa yang dipelajari, maka akan sangat berbeda kitabnya, meskipun berbahasa arab.

Hal ini membuat para thalib al 'ilm yang pernah belajar kitab kuning mengernyitkan dahi tanda kurang sepakat, dan sedikit pesimis akan kemampuan santri Gontor dalam menguasai kitab klasik karangan ulama-ulama salaf.

Dan ketika ada pertanyaan, buku yang dipelajari sebagai ilmu alat yang menjadi wasilah pembuka kemampuan dan kemahiran membaca kitab kuning adalah al-nahwu al-wadhih karangan Mushtafa amin dan Ali Jarim dua orang mesir, maka kernyitan dahipun semakin bertambah.

Lalu timbullah persepsi dan opini di benak mereka, bahwa kitab tersebut yang terdiri dari lima jilid, menjadi titik lemah mendasar dalam penguasaan kitab kuning, yang katanya kurang sistematis seperti jurumiyah, alfiyah dan sebagainya.

Dalam tulisan ini, penulis bukan untuk meninggikan dan merendahkan satu dengan lainnya. Toh pembelajaran di pesantren salaf atau pondok modern mempunyai tujuan yang sama, namun berbeda cara.

Seakan para santri dan juga alumni lupa, bahwa al-thariqah ahammu min al-maddah, dengan menganggap perlu nyantri ke pesantren salaf lagi, dan itupun sah-sah saja, bukan suatu kesalahan. Begitu juga sebaliknya para santri salaf belajar ke pondok modern Gontor.

Ada hal yang perlu ditelaah, sehingga pendiri pondok Gontor mempola pendidikan dan pengajaran sedemikian rupa, dan sempat penulis bertanya dalam hati, mengapa beliau-beliau tidak membuat pola pendidikannya seperti pesantren salaf pada umumnya, sedangkan beliau-beliau pernah menimba ilmu di beberapa pesantren salaf.

Dengan tamatnya KH. Imam Zarkasyi dalam menimba ilmu di normal school padang panjang, maka sistem KMI yang diarsiteki beliau menjelma menjadi madzhab baru dalam pendidikan pesantren di Indonesia.

Maka tidak bisa dikatakan, bahwa sistem KMI di Gontor seperti halnya di thawalib padang panjang, atau sistem pesantrennya sama seperti pesantren pada umumnya.

Gontor telah menjelma menjadi lembaga pendidikan pesantren dengan sistem asramanya, dan juga secara klasikal berjenjang seperti lembaga pendidikan umum, dengan menerapkan disiplin tinggi, pembinaan karakter berkesinambungan, dan juga bi'ah lughawiyahnya, serta penanaman falsafah hidup yang kuat, plus pola kaderisasi yang susah untuk diduplikat.

Dan nama modernpun tersemat pada nama pondok, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Dalam versi yang sangat terkenal, kata modern disematkan oleh seorang pastur di Madiun. Tapi menurut penulis, bahwa pondok Gontor disemati modern, karena Gontor mengasah kemampuan santrinya untuk menghadapi persaingan global, membina kemampuan ototidak santrinya untuk beradaptasi setelah lulus, dan membekali kemampuan santrinya untuk membuka banyak pintu dengan kunci yang diberikan.

Maka dari tiga prinsip kemodernan itulah, yang menjadi titik tolak bagi santri untuk menguasai kitab kuning.

Namun terkadang santri atau alumni termakan opini, bahwa kelemahan mereka adalah membaca kitab kuning. Ya, tentunya hal itu benar bagi santri yang belum sembuh/sadar dengan predikat abu dan abu yang masih mendarah daging sampai alumni, seperti abu mizah, abu naum dan sebagainya yang negatif.

Namun kalau selalu ingat, dan menelaah kembali nasihat KH. Imam Zarkasyi kepada KH. Idham Khalid, bahwa setelah lulus Gontor hendaknya banyak menelaah banyak kitab-kitab di salah satu toko buku (kala itu ada toko buku kitab klasik terkenal yaitu Salim Nabhan).

Kalau kita jabarkan, bahwa modal bahasa yang dimiliki oleh santri Gontor adalah cukup untuk membuka kitab-kitab pesantren salaf, namun banyak yang menganggap bahwa membaca kitab itu harus menggunakan sistem utawi. Padahal menurut yang diajarkan Kiai Gontor, bahwa membaca kitab kuning atau tanpa harakat itu adalah santri dapat membaca dengan benar huruf A, I, U-nya kitab kuning, santri mengerti serta faham apa isinya, santri dapat mengambil inti pembicaraan dalam kitab kuning, santri dapat menerangkan kembali maksud bacaan dalam kitab kuning tersebut kepada orang lain.

Sedangkan mungkin yang dimaksud membaca menurut pembelajar kitab kuning metode qawaid tarjamah adalah: Utawi, Iku, wus ngendiko, sopo kiyahi Mushonif, dll. Dan kalau  ini dipukul rata untuk penguasaan kitab kuning yang dimaksud, maka sekiranya Syeikh Azhar pun tidak akan masuk kategori orang yang bisa membaca kitab kuning.

Banyak pesan dan nasihat Kiai Gontor untuk santri dan juga alumninya, bahwa selepas dari Gontor agar menelaah banyak kitab-kitab, selalu dan selalu belajar walaupun profesinya bukan sebagai seorang guru.

Pesan moralnya, jangan berkecil hati bagi para santri maupun alumni sekalipun, apabila ada yang melabeli bahwa dirinya tidak bisa membaca kitab kuning metode qawaid tarjamah. Namun, ini menjadi pelecut untuk selalu menelaah dan mendalami berdasarkan kunci dan modal bahasa yang sudah diberikan oleh pondok.

Dan sekarang tinggal individunya saja yang tergerak untuk itu atau tidak. Kalau mengamalkan wasiat Kiai, insya Allah akan menjadi ulama yang intelek dan bukan hanya intelek yang tahu akan agama, serta membaca kitabnya menjadi mumpuni. Syaratnya adalah thalab al-'ilm min al-mahdi il al-lahdi. Serta mengikis keyahanu-an tanpa i'dad, dan senantiasa mengasah keilmuan sesuai harapan dan cita-cita pendiri pondok tentang orang besar.

 

 

 

Widi Dalang
Alumni Gontor tahun 1999 Akhir (Spinker 620)

 

Share this Post