Lagu Rinto untuk Pak Sahal (Oleh Muhammad Yulian Ma'mun*)

Pagelaran seni akbar "Panggung Gembira" di Pondok Pesanten Gontor Ponorogo berakhir menjelang tengah malam. Para santri pun beranjak ke asrama masing-masing karena besok keabrek kegiatan sudah menunggu. Pesantren ini hampir tidak ada waktu kosong karena dalam kamus mereka istirahat adalah pergantian satu pekerjaan ke pekerjaan lain. "Ar rahatu fi tabaduli al a’maal", demikian ujar sebuah perkataan hikmah dari negeri Arab yang menempel di dinding asrama.

Namun sekelompok remaja tanggung masih bergeming di atas panggung. Mereka adalah santri kelas 6 (setingkat kelas 3 SLTA) yang menjadi shohibul hajat, panitia, penyelenggara sekaligus penampil dalam pentas itu. Sudah menjadi tradisi bahwa di akhir acara akan ada evaluasi dan penilaian dari pimpinan pondok terhadap penyelenggaraan acara. Kiai pimpinan pondok di akhir penilaian akan memberikan semacam angka rapor untuk pagelaran ini. 1

Jeritan nada gitar, alunan khusyuk seruling atau tabuhan enerjik rebana bukan hal yang aneh di Pesantren Gontor. Seni adalah salah satu media pendidikan yang diyakini para kiainya dapat membentuk karakter dan akhlak santri. Pagelaran seni selalu diadakan setiap awal tahun ajaran baru untuk mengajarkan kreativitas dan kemandirian. Bahkan santri yang memang tidak berbakat seni tetap diikutsertakan dalam pentas, meski ‘hanya’ berupa peran kecil di panggung ataupun tugas di belakang layar. Mereka bahu-membahu dari fase penggalian dana, penyusunan format acara, pembangunan background yang gigantik, hingga penampilan di depan penonton.

Sebelum membacakan hasil penilaian, Kiai Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pondok mengajak para santri kelas 6 bersama menyanyikan lagu "Ayah".

Di mana ... akan kucari
Aku menangis, seorang diri
Hatiku, slalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi

Beberapa detik kor dadakan ini berjalan tanpa musik, seorang santri cepat tanggap bergegas menggapai keyboard buatan Jepang di tengah panggung. Iringan nada pun membersamai lagu yang pertama kali dirilis band The Mercy’s tahun 1975 tersebut. Suasana bertambah syahdu hingga sampai ke bait:

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

Rona wajah Kiai Hasan berubah sembab. Tampak ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Berjuta kenangan tercurah dalam lagu ciptaan maestro pop pentolan The Mercy’s Rinto Harahap ini.

Lagu ini seolah membawa memori Kiai Hasan terbang menuju masa silam, saat ayahnya, KH Ahmad Sahal berpulang ke hadirat Ilahi. Perpisahan ini semakin sendu karena Kiai Hasan muda tidak bisa menemani ayahandanya di detik-detik terakhir, bahkan tak dapat menyaksikan jenazahnya masuk ke liang lahat.

Kisah Amplop Putih

KH Ahmad Sahal adalah salah satu pendiri persantren Gontor bersama dua adiknya: KH Zainudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi. Trio ini kemudian dikenal dengan "Trimurti", tiga serangkai yang tak terpisahkan. Sejak wafatnya Kiai Fanani tahun 1960, dua sosok yang tertinggal, Pak Sahal dan Pak Zar bahu-membahu memimpin pondok ini. Selain "Kiai", "Pak" adalah panggilan kehormatan dari para santri untuk mereka.

Pada hari Kamis, 7 April 1977, kondisi kesehatan makin Kiai Sahal menurun. Ia hanya bisa tergolek lemah di pembaringan. Beliau merasa dirinya berada di penghujung usia dan meyakini akan menemui ajal dengan segera. Maka putra-putrinya yang berada di berbagai daerah dipanggil pulang ke desa Gontor, tak terkecuali Hasan Abdullah Sahal yang waktu itu masih kuliah di Mesir.

Waktu berlalu hingga Jum’at malam, Pak Sahal masih menanti kedatangan Hasan.

"Saya sudah diuluk salam oleh dua sosok putih-putih. Mereka mengajakku, tapi aku belum mau karena masih menunggu Hasan," akunya kepada sanak famili termasuk Kiai Imam Zarkasyi yang duduk mendampingi, seperti yang dikutip dari buku Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor. Sanak famili di sekelilingnya tidak ada yang melihat sosok itu. Bisa jadi itu adalah penampakan dari malaikat yang bertugas untuk menjemput beliau menuju keabadian.

Keesokan sore, beliau kembali kedatangan tamu, "Nah, dua orang tadi sudah datang lagi. Dan aku sudah tidak bisa lagi menolak. Sudahlah, aku akan bersiap-siap."

Karena Hasan belum datang juga, maka beliau mengamanatkan wasiat khusus kepadanya yang ditulis dalam sebuah amplop putih. Tidak ada yang tahu isinya selain Hasan seorang. Pesan personal juga disampaikan secara lisan langsung kepada Kiai Zarkasyi, "Pak Zar, nanti yang mangku masjid, Hasan," ucapnya sambil sedikit berkeringat dan menggumam zikir.

"Ya, ya… baik Pak Sahal," sahut adik sekaligus rekan seperjuangannya itu.2

Maka setelah pesan tersampaikan, Kiai Sahal pun wafat pada hari Sabtu, 9 April 1977 meninggalkan pondok, para ustadz dan santri dalam gelayut awan melankolis. Pemuda Hasan datang beberapa hari kemudian. Kedatangannya hanya disambut hampa dan sunyi. Sosok ayahanda sudah bersemayam di alam baka. Sungguh sebuah kesedihan mendalam, namun pemuda Hasan tidak mau larut dalam duka. Semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya.

Aktivitas pondok pun kembali berjalan riuh rendah seperti biasa. Meski ada sesuatu yang hilang, namun roda kehidupan santri tetap berputar. Jika boleh berandai, Kiai Sahal di barzakh pun mungkin tidak senang jika pondok larut dalam kesedihan berlebih karena kematiannya.

Sesuai dengan pesan almarhum ayahnya, Hasan muda (waktu itu belum menjadi kiai) menjadi pembina Mesjid Jami’ Gontor sampai sekarang. Kiai Zarkasyi dengan penuh kearifan dan kerendahan hati menjadi makmum di belakang keponakannya setiap shalat Jum’at hingga wafat tahun 1985. Sebuah teladan dakwah bil-hal yang patut dicontoh oleh kita yang masih muda.

Sepeninggal Pak Zar, era baru Gontor generasi kedua dimulai dengan penunjukan KH Abdullah Syukri Zarkasyi, putra Kiai Zarkasyi, KH Hasan Abdullah Sahal dan KH Shoiman sebagai pimpinan pondok. Dua nama pertama, hingga saat ini masih menjadi nakhoda berjalannya pesantren berusia 84 tahun ini.

***

Sebuah lagu dapat memiliki kekuatan yang dahsyat bagi jiwa manusia. Hal ini karena musik adalah wujud ekspresi perasaan seseorang yang tertuang dalam jalinan nada yang bisa menyentuh emosi dan kesadaran. Sebuah lagu dapat membuat orang gembira, tertawa, menangis dan merenung, sesuai misi yang dibawanya. Lagu "Ayah" ini memang memiliki tempat khusus di benak pencinta musik Indonesia. Temanya dekat dengan kehidupan kita semua, membuatnya tetap eksis selama beberapa dekade, meski setiap generasi memiliki selera musiknya sendiri-sendiri.

Khusus bagi Kiai Hasan, lagu ini bukanlah pembawa pilu. Ia adalah obat kerinduan dan pengingat pada para pendahulu. Seakan ia ingin mengirim pesan kepada para leluhur di alam sana: "the show always go on". Estafet perjuangan kalian tetap kami teruskan. Cita mulia itu harus tetap dijunjung dan diperjuangkan, meski zaman makin tak karuan.


* Penulis adalah dosen di IAI Darussalam Martapura, Kalsel. Berminat pada kajian sejarah dan ekonomi Islam.

1  Reka ulang momen penilaian acara Panggung Gembira Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2017. Sebenarnya KH Hasan Abdullah Sahal sering membawakan lagu ini dalam beberapa momen kegiatan di dalam dan luar pondok. Salah dokumentasi video amatir yang terdapat di laman internet adalah peristiwa tersebut yang ada di tautan ini.

2  Muhammad Sanusi, dkk. Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor, 2016, Bantul: Etifaq Production, Hal. 293

Share this Post