Almuhim "Yahanu" Awwalan (Catatan Insan Sukut)

Sejak pertama menjadi santri di Pondok Modern Gontor, kata "yahanu" sudah menjadi kata populer di kalangan santri. Dan kata ini menjadi bagian dari banyak kata-kata yang melegenda di bumi Darussalam, baik yang sejenis ataupun yang berbeda dalam pemaknaan dan pengimplementasiannya berdasarkan filosofi masing-masing.

Dan setahu saya, tercetusnya nama legendaris itu, belum ada satupun cendikiawan pondok modern Gontor yang menulis dalam diktat, buku sejarah, ataupun karya ilmiah sebagai khazanah perbendaharaan kata, terkecuali sering terdengar turun temurun dari mulut ke mulut para santri. Bahkan Almukarram KH. Abdullah Syukri Zarkasyi acap kali mendengungkan kata "yahanu" dalam setiap kali pidato-pidato beliau (Allahummasyfih). Pun demikian dengan KH. Hasan Abdullah Sahal dalam beberapa waktu.

Sejauh pengamatan saya, kata yahanu hanya ada di bumi Darussalam Pondok Modern Gontor Ponorogo. Dan bahkan di pondok Gontor Putripun tidak mengenal kata "yahanu", apalagi di pondok pesantren alumni. Namun, di tahun 2000 ke atas, kata yahanu sudah mulai dikenal di kalangan pondok pesantren alumni Gontor dengan beda pemaknaan dan pengejawantahan di dalamnya.

Semua santri pondok modern Gontor dan alumninya, sedikit banyaknya tershibghah dengan kata yahanu, yang menjadi karakter unik yang tersemat di dalam diri para mundzirul qaum tersebut, termasuk saya sendiri. Dan dahsyatnya lagi, kata "yahanu" disinyalir dapat mengalahkan pandemi covid-19 yang sedang menyelimuti dunia, dari segi penularannya, walaupun bagi sebagian kalangan Covid-19 adalah virus rekayasa.

Menjadi aneh memang, apabila santri atau alumni pondok modern Gontor tidak mengenal sama sekali, serta tidak terjangkiti dengan yahanuisme. Sayapun bertanya dalam hati, makhluk apakah yahanu itu, sehingga tak sedikit dari para alumni pondok modern Gontor sukses, dan bahkan hanya bermodalkan yahanu.

Yahanu atau apapun itu, telah menjadi virus positif bagi sepak terjang para alumni Gontor. Karena minimnya literasi tentang "yahanu", yang menjadi unsur karakter ke sembilan belas dari delapan belas karakter yang sudah diformulasikan oleh praktisi dan akademisi pendidikan nasional, maka saya hanya menganalisa berdasarkan pengalaman dan pengamalan, dan barangkali yahanu merupakan virus. Dengan kata lain merupakan racun "sok" intelek, percaya diri akut yang sudah mencapai stadium empat (over confident) dalam versi positif. Dan "yahanu" sudah menjadi parasit yang menginfeksi sel ketidakpercayadirian seorang alumnus pondok modern Gontor menjadi sosok yang mempunyai kepercayadirian di atas rata-rata manusia normal.

Dalam dunia "ke-mudabbir-an" seringkali ada dua hal bertolak belakang, namun saling mendukung satu dengan yang lainnya, juz un la yatajazza' dalam hal mengasuh, membimbing santri, yaitu menggunakan metode motivasi dan menjatuhkan. Dan dalam manajemen kemudabbiran di pondok modern Gontor yang tidak tertulis, ada satu atau lebih dari mudabbir yang lebih berperan sebagai motivator, dan yang lain berfungsi menjatuhkan. Dan tentunya menjatuhkan disini bukan untuk membully, tapi sebagai rem atas motivasi atau tasyji' ghanam yang berpotensi yahanu yang negatif dan menggerogoti sifat ketawadhu'an santri.

Mungkin dari awal belum dibahas tentang definisi yahanu itu sendiri. Karena tanpa definisi yang jelas, yahanu akan menjadi satu karakter atau ajaran yang tidak memiliki faedah sama sekali. KH. Imam Zarkasyi salah satu pendiri pondok modern Gontor pernah menyampaikan bahwa, "orang pentinglah yang tahu akan kepentingan". Dan kitapun dianggap tidak akan faham inti yahanu kalau kita tidak tahu akan yahanu itu sendiri. Karena karakter yahanu mirip dengan rasa percaya diri, namun dalam konteks dan aplikasi yang berbeda.

Dalam beberapa web yang dikelola alumni Gontor disebutkan, bahwa Yahanu ini adalah kategori fi’il (Kata kerja) dalam bahasa Arab. Dan belum pasti jenis kata kerjanya, apakah bentuknya fi’il Madhi (Past Tense) atau Fi’il Mudhari’ (Present Tense). Tapi bahasa ini digunakan oleh santri Gontor untuk berbagai kata ganti (Dhomir). Secara linguistik artinya belum diketahui, tapi istilah ini biasanya di berikan untuk mengomentari seseorang yang “sok/merasa/pura-pura” , seperti yahanu mahir yang berarti sok pintar atau merasa pintar, pura-pura pintar padahal tidak pintar dan sebagainya.

Fakta yang tidak terbantahkan, banyak orang sukses tidak diukur dari intelegensianya, namun ada faktor penting yaitu mental percaya diri dan itu terdapat dalam sifat yahanu.

Biarpun kemampuan pas-pasan, "koplak kaplek", tidak terlalu menguasai bidang tersebut, namun sifat yahanu anak Gontor telah menembus batas pencapaian makhluk jenius dari bangsa manusia. Dan bahkan mereka yang langganan "maaf" tinggal kelas atau berada di kelas asfala safilin selama menjadi santri, namun mempunyai bekal yahanu yang mumpuni, maka dipastikan kesuksesan di masyarakat telah menantinya. Dan ini sudah banyak dibuktikan oleh para alumni Gontor dan teman-teman saya.

Mengutip surat Ali Imran ayat 139 yang artinya
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”

Dan Rasulullah dalam sabdanya”Janganlah kalian menghinakan diri kalian sendiri.”Para sahabat bertanya [dengan rasa heran],”Wahai Rasulullah saw, bagaimana mungkin kami akan menjadikan diri kami sendiri hina?” Rasulullah saw menjawab,”Seseorang mengetahui bahwa ada sebuah perintah Allah yang wajib dia sampaikan [kepada orang banyak] namun dia tidak menyampaikannya.” Terhadap orang yang seperti ini, pada hari Kiamat kelak, Allah akan bertanya,”Apa yang telah menyebabkanmu tidak menyampaikan hal ini dan hal itu?” Ia menjawab,”Rasa takut terhadap manusia.”: Allah kemudian berkata,”Kepada-Ku lah engkau lebih pantas untuk takut.”[HR. Ibnu  Majah].

Ada hal yang perlu kita ingat, dan disebutkan juga dalam kata-kata mutiara, di dalam enam istilah yang berada di tradisi literatur di pondok yang biasa disebut mahfudzat di bawah ini, yang dapat menjadi dasar untuk menerapkan keyahanuan, dengan catatan bahwa yahanu yang positif terbagi atas beberapa hal:

1. Yahanu harus didasari oleh kadar kemampuan diri.

هَلَكَ امْرُؤٌ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَهُ

Hancurlah seseorang yang tidak tahu dirinya sendiri.

2. Yahanu memerlukan pemikiran, konsep serta i'dad yang matang dan sempurna.

فَكِّرْ قَبْلَ أَنْ تَعْزِمَ

Berpikirlah dahulu sebelum kamu berkemauan (merencanakan)

3. Yahanu memperhatikan aspek malu untuk melakukan atau tidak dalam melakukannya, sehingga tindakannya perlu adanya rambu-rambu akhlak dan norma-norma yang berlaku.

إِذاَ لمَ ْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Apabila engkau tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu (apa yang engkau kehendaki)

4. Yahanu itu perlu keberanian untuk mencoba dan mental yang kuat.

 جَرِّبْ وَلاَحِظْ تَكُنْ عَارِفًا

Cobalah dan perhatikanlah, niscaya kau jadi orang yang tahu"

5. Yahanu memerlukan kesungguhan dalam melakukannya.

مَنْ جَدَّ وَجَدَ

"Siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti berhasil.

6. Yahanu dengan "Be Yourself", menjadi diri sendiri. Artinya, kenali Dan kembangkan potensi unik dalam diri sendiri.

الاِعْتِمَادُ عَلَى النَّفْسِ أَسَاسُ النَّجَاحِ

Bersandar kepada diri sendiri asas pokok keberhasilan

Dan sebagai catatan, dari ayat, hadits dan juga petikan-petikan mahfudzat di atas, kepercayaan diri merupakan keyakinan dengan sepenuh hati dan berpegang teguh dengan apa yang diyakini oleh diri hingga akhir hayat, atau dengan bahasa yahanu-nya, dalam segala hal bisa dilakukan asalkan kita meyakininya dengan benar-benar. Karena i'timad terhadap diri sendiri adalah kunci sukses.

Demikian juga bahwa yahanu itu memerlukan keikhlasan dan ketulusan, cara atau metode, ilmu diqqah dan mumpuni, dan juga motivasi yang kuat.

 

Tentang Penulis
Widi Dalang
Alumni Gontor tahun 1999 Akhir (Spinker 620)

Share this Post